Perintah melakukan ibadah haji tidak sama seperti perintah salat, zakat atau puasa. Untuk ibadah haji Allah tekankan keikhlasan:
“Dan sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah” (al-Baqarah 196)
Mengapa? Karena dijumpai sebuah riwayat hadis:
ﻳﺄﺗﻰ ﻋﻠﻰ اﻟﻨﺎﺱ ﺯﻣﺎﻥ ﻳﺤﺞ ﺃﻏﻨﻴﺎء ﺃﻣﺘﻰ ﻟﻠﻨﺰﻫﺔ ﻭﺃﻭﺳﺎﻃﻬﻢ ﻟﻠﺘﺠﺎﺭﺓ ﻭﻗﺮاﺅﻫﻢ ﻟﻠﺮﻳﺎء ﻭاﻟﺴﻤﻌﺔ ﻭﻓﻘﺮاﺅﻫﻢ ﻟﻠﻤﺴﺄﻟﺔ (رواه اﻟﺨﻄﻴﺐ ﻭاﻟﺪﻳﻠﻤﻰ ﻋﻦ ﺃﻧﺲ)
“Akan datang pada manusia satu masa, orang kaya berhaji karena jalan-jalan, orang menengahnya karena niat bisnis, ulamanya karena ingin pamer dan dipuji, serta orang miskinnya untuk meminta-minta” (HR Khatib Al Baghdadi dan Dailami dari Anas)
Oleh karenanya, jika ke Makah jangan niatkan refreshing, jangan pula untuk tujuan duniawi, tapi niatkan karena Allah semata.
Bagaimana dengan gelar Haji? Apa tidak ikhlas? Gelar Haji sudah dijumpai di masa pertengahan Hijriyah. Imam As-Subki mencatat sebutan nama ulama dengan titel Haji sebagai berikut:
“Hassan bin Said Al-Mani’i Al-Hajji (463 H). Nisbat Al-Mani’i adalah nama kakeknya. Dan panggilan Al-Hajji adalah bahasa di luar Arab yang dinisbatkan kepada seseorang yang sudah ke Baitullah dipanggil “Haji” (Thabaqat Al-Kubra, 4/299)
Jadi boleh-boleh saja menyematkan gelar Haji di depan nama seseorang yang sudah menunaikan ibadah haji. Bagi saya gelar Haji bisa menjadi rem dan filter manakala seseorang mau melakukan hal-hal yang tidak pantas secara hukum agama atau sosial.
Dikutip dari Facebook KH. Ma’ruf Khozin.